Agar
dapat menalar dengan tepat, perlu kita memiliki pengetahuan tentang fakta yang
berhubungan. Jumlah fakta tak terbatas, sifatnya pun beraneka ragam. Oleh sebab
itu, sebagai unsur dasar dalam penalaran ilmiah, kita harus mengetahui apa
pengertian dari fakta.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fakta memiliki definisi sebagai hal
(keadaan atau peristiwa) yang merupakan kenyataan; sesuatu yang benar-benar ada atau
terjadi. Selain itu, fakta juga merupakan pengamatan yang telah diverifikasi
secara empiris (sesuai dengan bukti atau konsekuensi yang teramati oleh
indera). Fakta bila dikumpulkan secara sistematis dengan beberapa sistem serta
dilakukan secara sekuensial maka fakta tersebut mampu melahirkan sebuah ilmu.
Sebagai kunci bahwa fakta tidak akan memiliki arti apa-apa tanpa sebuah teori
dan fakta secara empiris dapat melahirkan sebuah teori baru.
Untuk
memahami hubungan antara fakta-fakta yang sangat banyak itu, kita perlu
mengenali fakta-fakta itu secara sendiri-sendiri. Ini berarti bahwa kita harus
mengetahui ciri-cirinya dengan baik. Dengan begitu, kita dapat mengenali
hubungan di antara fakta-fakta tersebut dengan melakukan penelitian.
Selain
itu, kita dapat menggolong-golongkan sejumlah fakta ke dalam bagian-bagian
dengan jumlah anggota yang sama banyaknya. Proses seperti itu disebut
pembagian, namun pembagian di sini memiliki taraf yang lebih tinggi dan disebut
klasifikasi.
1)
Klasifikasi
Membuat
klasifikasi mengenai sejumlah fakta, berarti memasukkan atau menempatkan
fakta-fakta ke dalam suatu hubungan logis berdasarkan suatu sistem. Suatu
klasifikasi akan berhenti, tidak dapat diteruskan lagi jika sudah sampai kepada
individu yang tidak dapat merupakan spesies atau dengan kata lain jenis
individu tidak dapat diklasifikasikan lebih lanjut meskipun dapat dimasukkan ke
dalam suatu spesies. Contohnya, "Dani adalah manusia", tetapi tidak
"Manusia adalah Dani" karena Dani adalah individu dan bersifat unik.
Perlu
diingat bahwa klasifikasi atau penggolongan (pengelompokkan) berbeda dengan
pembagian. Pembagian lebih bersifat kuantitatif, tanpa suatu kriteria atau ciri
penentu. Tetapi klasifikasi didasarkan terhadap ciri-ciri atau kriteria yang
ada dari fakta-fakta yang diteliti.
2)
Jenis
Klasifikasi
Klasifikasi
dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
ü Klasifikasi
sederhana, suatu kelas hanya mempunyai dua kelas bawahan yang berciri positif
dan negatif. Klasifikasi seperti itu disebut juga klasifikasi dikotomis
(dichotomous classification dichotomy).
ü Klasifikasi
kompleks, suatu kelas mencakup lebih dari dua kelas bawahan. Dalam klasifikasi
ini tidak boleh ada ciri negatif; artinya, suatu kelas tidak dikelompokkan
berdasarkan ada tidaknya suatu ciri.
3)
Persyaratan
Klasifikasi
Klasifikasi
harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa persyaratan:
ü Prinsipnya harus
jelas. Prinsip ini merupakan dasar atau patokan untuk membuat klasifikasi,
berupa ciri yang menonjol yang dapat mencakup semua fakta atau benda (gejala)
yang diklasifikasikan.
ü Klasifikasi
harus logic dan ajek (konsisten). Artinya, prinsip-prinsip itu harus diterapkan
secara menyeluruh kepada kelas bawahannya.
ü Klasifikasi
harus bersikap lengkap, menyeluruh. Artinya, dasar pengelompokkan yang
dipergunakan harus dikenakan kepada semua anggota kelompok tanpa kecuali.
Selain
itu dalam aspek fakta agar dapat membuat kesimpulan yang sah tentang sifat
golongan tertentu yang berdasarkan satu atau beberapa yang diamati, hal-hal
yang perlu diperhatikan adalah mengenai klasifikasi – yang sudah dijelaskan
sebelumnya –, generalisasi dan spesifikasi, analogi, dan hubungan sebab-akibat.
a.
Generalisasi
dan Spesifikasi
Dari sejumlah fakta atau gejala yang
diamati ditarik kesimpulan umum tentang sebagian atau seluruh gejala yang
diamati itu. Proses penarikan kesimpulan yang dilakukan dengan cara itu disebut
generalisasi. Jadi, generalisasi adalah pernyataan yang berlaku umum untuk
semua atau sebagian besar gejala yang diamati. Karena itu suatu generalisasi
mencakup ciri-ciri esensial atau yang menonjol, bukan rincian. Di dalam
pengembangan karangan, generalisasi perlu dibuktikan dengan fakta yang
merupakan spesifikasi atau ciri khusus sebagai penjelasan lebih lanjut.
Ungkapan yang biasa digunakan dalam
generalisasi adalah: biasanya, pada umumnya, sebagian besar, semua, setiap,
tidak pernah, dan sebagainya. Dan ungkapan yang digunakan dalam penunjang
generalisasi adalah: misalnya, sebagai contoh, untuk menjelaskan hal itu,
sebagai bukti, dan sebagainya.
Fakta-fakta penunjang harus relevan
dengan generalisasi yang dikemukakan. Suatu paragraf dalam tulisan yang
mencamtumkan penunjang yang tidak relevan dipandang tidak logis. Dan
generalisasi mungkin mengemukakan fakta (disebut generalisasi faktual) atau
pendapat (opini).
b.
Analogi
Persamaan antar bentuk yang menjadi
dasar terjadinya bentuk-bentuk yang lain atau membandingkan sesuatu dengan
lainnya berdasarkan atas persamaan yang terdapat di antara keduanya.
Analogi terdiri dari dua macam:
ü Analogi penjelas
(deklaratif) yaitu perbandingan untuk menjelaskan sesuatu yang baru berdasarkan
persamaannya dengan sesuatu yang telah dikenal, tetapi hasilnya tidak memberikan
kesimpulan atau pengetahuan yang baru,
ü Analogi induktif
yaitu suatu proses penalaran untuk menarik kesimpulan (referensi) tentang
kebenaran suatu gejala khusus berdasarkan kebenaran suatu gejala khusus lain
yang memiliki sifat-sifat esensial penting yang bersamaan. Jadi, dalam analogi
induktif yang perlu diperhatikan adalah persamaan yang dipakai merupakan
ciri-ciri esensial penting yang berhubungan erat dengan kesimpulan yang
dikemukakan.
c.
Hubungan
Sebab Akibat
Hubungan ketergantungan antara
gejala-gejala yang mengikuti pola sebab-akibat, akibat-sebab, dan
akibat-akibat. Penalaran sebab-akibat dimulai dengan pengamatan terhadap suatu
sebab yang diketahui. Penalaran akibat-sebab dimulai dari suatu akibat yang
diketahui.
Penalaran akibat-akibat berpangkal dari
suatu akibat dan berdasarkan akibat tersebut dan langsung dipikirkan akibat
lain tanpa memikirkan sebab umum yang menimbulkan kedua akibat itu.