Suku Togutil
Friday, October 19, 2012
Ini tugas pertama tentang suku di Indonesia. Awalnya ingin memilih suku Jawa atau Betawi, tapi sepertinya akan banyak yang memilih suku tersebut. Akhirnya, dipilihlah suku Togutil yang memang belum diketahui banyak orang. Artikel ini diambil langsung dari sumbernya dan tidak ada sedikit pun yang diubah.
Selamat membaca (⌒,⌒ )
Mengenal ORANG TOGUTIL, Suku
Terasing di Pedalaman Pulau Halmahera - Maluku Utara
Penulis : Busranto Latif Doa
Sumber Foto :
1) Malik Latif, PT. Aneka Tambang Geomin Buli
2) Disbudpar Kab. Haltim
=================================
Bila
mendengar kata “TOGUTIL”, maka bayangan yang muncul dalam pikiran
semua orang di Ternate dan Maluku Utara pasti akan tertuju pada komunitas suku
terasing yang hidup secara nomaden di pedalaman pulau Halmahera. Tapi mungkin
lain halnya dengan masyarakat di luar provinsi muda ini, misalnya orang-orang
di Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Sumatera dsb, nama suku Togutil mungkin baru
kali ini didengarnya. Bagi orang Ternate, kata “Togutil” sebagai
sebuah istilah, itu identik dengan makna kata “primitif”, “keterbelakangan”,
“kebodohan” “ketertinggalan” serta masih banyak lagi konotasi-konotasi
yang bermakna serupa lainnya.
Dalam
keseharian kehidupan masyarakat di Maluku Utara yang hingga sekarang ini juga
telah memasuki era digital sebagaimana orang-orang di pulau Jawa, namun
ternyata masih ada saudara-saudaranya yang ada di pedalaman pulau Halmahera
yang hidupnya masih primitif dan terbelakang serta jauh dari sentuhan
modernisasi. Padahal negara ini sudah merdeka lebih dari 60 tahun yang lalu.
Suku Togutil
adalah suku asli yang terasing di negerinya sendiri. Hal seperti ini juga
pernah dikemukakan oleh Pengamat Budaya Djoko Su'ud Sukahar dalam
tulisannya; Suku Asing & Terasing, detikNews, tanggal 21 Agustus 2008 yang
menyentil bahwa; “Enampuluh tiga tahun sudah kita merdeka. Kemerdekaan yang
panjang itu masih menyisakan penyesalan. Tak hanya karena taraf hidup rakyat
yang tak kunjung membaik, tapi juga masih banyaknya saudara kita yang hidup
terasing. Mereka asing bagi kita, dan kita asing bagi mereka, seperti
orang-orang Suku Togutil yang hidup di pedalaman pulau Halmahera”. Walaupun
mereka masih primitif karena pola hidup secara nomaden tanpa merobah dan
merusak alam, namun keberadaan mereka seperti itu telah memberikan pelajaran
berharga kepada kita semua dalam hal melestarikan hutan. Seakan-akan mereka
berpesan; janganlah sekali-kali merusak alam.
Seperti yang
pernah saya jelaskan dalam artikel-artikel pada posting sebelumnya bahwa pada zaman
Pleistochen pulau Halmahera masih menyatu dengan pulau-pulau kecil lainnya
yang ada saat ini, seperti pulau; Morotai, Hiri, Ternate, Maitara, Tidore,
Mare, Moti, Makian, Kayoa, Bacan, Gebe dan sebagainya. Perubahan alam yang
terjadi selama ratusan ribu tahun dan pergeseran kulit bumi secara evolusi
telah membentuk pulau-pulau kecil. Halmahera adalah merupakan pulau induk di
kawasan ini, dan merupakan dataran tertua, selain pulau Seram di Maluku Tengah.
Secara
logis, karena pulau Halmahera adalah pulau induk dan daratan tertua, maka dapat
dipastikan bahwa perkembangan kehidupan dan persebaran “manusia Maluku
Utara” juga tentu bermula dari daratan ini. Namun bukan itu yang
menjadi bahasan saya dalam tulisan ini. Pembahasan hanya terfokus pada
keberadaan sebuah komunitas yakni orang-orang suku Togutil yang masih tersisa
yang mengalami ketertinggalan dalam perkembangan sosio-kultural yang disebabkan
karena mereka terisolasi atau mengisolasikan diri dari pergaulan dengan
lingkungan manusia lainnya. Hidup mereka telah menyatu dengan alam sehingga
hutan rimba, sungai-sungai dan goa-goa di belantara pedalaman pulau Halmahera
menjadi rumah mereka.
Disadari
atau tidak, sebagian orang bisa menyimpulkan bahwa pernyataan tersebut di atas
menunjukkan bahwa manusia Maluku Utara yang sudah modern dan maju seperti
sekarang ini dahulunya adalah juga seperti “orang Togutil” ini.
Bila kita
bijak, maka hal ini tidak lantas begitu saja langsung dibantah, karena jika
kita mempelajari “Ilmu Anthropologi” maka pasti kita memahami
bahwa setiap bangsa atau suku mana saja di muka bumi ini dalam perjalanannya
pasti mengalami tahap-tahap perkembangan yang demikian. Misalnya bangsa Kaukasoid
(orang Eropa) yang lebih dahulu maju dan telah menjadi manusia modern seperti
sekarang ini, dahulunya juga adalah suku primitif (Vicking) yang
kehidupannya masih tergantung dengan pemberian alam (Nomad)
seperti orang Tugutil ini.
Kembali
kepada pembicaraan kita tentang “Suku Togutil”… Catatan ilmiah
tentang suku ini, pertama kali dikemukakan tahun 1929 yang berbentuk sebuah
artikel pendek yang terdapat dalam buku; “De Ternate Archipel” Serie
Q, No.43 Ontleedn aan de memorie van overgave van den toenmaligen Controleur
van Tobelo, PJM Baden, van 26 Maret 1929, pag 401-404.
Saat ini
banyak keterangan-keterangan dari berbagai pihak dan masyarakat tentang orang-orang
suku Togutil ini sangat berbeda dan simpang siur antara satu dengan yang
lainnya. Semua itu benar, karena mereka tahu dan melihat dalam kurun waktu dan
ruang yang berbeda sehingga deskripsi yang lahir tentang suku Togutil ini pun
berbeda pula.
Di pedalaman
pulau Halmahera, komunitas suku pengembara ini ditemui di beberapa kawasan. Di
utara masih terdapat di pedalaman Tobelo, di tengah seperti
terdapat di Dodaga, di pedalaman Kao, di pedalaman Wasilei dan
agak ke selatan juga terdapat beberapa komunitas mereka di pedalaman Maba
dan Buli. Setiap komunitas (kelompok) suku primitif ini
berbeda antara satu dengan yang lainnya. Bahkan mereka saling berperang bila
bertemu.
Namun
demikian, bagi masyarakat Maluku Utara, masing-masing kelompok orang-orang
Tugutil ini, semuanya disebut sebagai “Suku Togutil” saja. Yang
membedakan sebutan terhadap mereka adalah kawasan yang menjadi tempat
pengembaraan mereka, misalnya Togutil Tobelo, Togutil Kao, Togutil Dodaga,
Togutil Wasilei, Togutil Maba, dsb.
Usaha
pemukiman terhadap masyarakat terasing merupakan program utama pemerintah dalam
usaha membiasakan mereka hidup menetap dan bercocok tanam (bertani).
Menetap dengan pengharapan dapat meningkatkan kesejahteraan fisik dan rohani.
Usaha ini dimaksudkan agar mereka dapat secepatnya mencapai taraf hidup yang
sejajar dengan masyarakat Indonesia umumnya.
Atas
pemikiran inilah, Pemerintah daerah di Maluku Utara pada tahun 1971 pernah
membangun pemukiman (relokasi) untuk orang-orang suku Togutil Dodaga di
kecamatan Wasilei Halmahera Tengah. Yang dimaksud dengan orang-orang Togutil
Dodaga adalah sekelompok orang suku Togutil yang berdiam di sekitar hutan dekat
Dodaga. Penambahan kata Dodaga di belakang nama golongan etnis ini adalah agar
dengan mudah dapat membedakannya dengan orang-orang suku Togutil lain yang
terdapat di kecamatan Wasilei, maupun di kecamatan-kecamatan lain di pedalaman
pulau Halmahera.
Beberapa
saat setelah suku Togutil Dodaga ini bermukim di tempat relokasi yang dibangun
pemerintah, mereka kembali lagi ke hutan dan hidup lagi menurut cara yang lama.
Peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan, apa sebab usaha ini gagal, sedangkan
usaha-usaha serupa berhasil di tempat lain, seperti Suku Naulu di
pulau Seram, orang Dayak Bukit di Kalimantan, Suku Sakai
di Sumatera dsb.
Masyarakat
di Desa-Desa sekitar mengatakan bahwa orang-orang Togutil ketika musim hujan
tiba, merasa terganggu dengan suara bising air hujan yang jatuh, karena atap
tidak terbuat dari dedaunan sehingga mereka ketakutan dan lari kembali lagi ke
hutan. Alasan lain mungkin karena mereka tidak terbiasa dengan ”sandang”
dan “pangan” ala kita.
MASALAH RELOKASI SUKU TOGUTIL DI
WASILEI
Gambaran
rinci tentang pemukiman, asal-usul dan kehidupan suku Togutil di pedalaman
pulau Halmahera ini sama sekali belum diketahui oleh dunia pengetahuan kita.
Oleh karena itu sangatlah sukar untuk memperoleh keterangan yang terperinci dan
terpercaya dari laporan-laporan yang ada tentang Halmahera tanpa melakukan
sendiri penelitian di lapangan.
Walaupun demikian,
pada sekitar tahun 1979, Universitas Pattimura Ambon pernah
melakukan penelitian lapangan yang bersifat Eksplorasi melalui pendekatan
Anthropologi Sosial terhadap suku Togutil di pedalaman Tobelo untuk mencari
jawaban atas kegagalan usaha pemukiman suku terasing ini, yang laporan
penelitiannya ditulis oleh Mus J. Huliselan yakni; Masalah
Pemukiman Kembali Suku Bangsa Togutil di Kecamatan Wasilei Halmahera Tengah
Sebuah Laporan Pejajagan, Universitas Patimura, Ambon, 1980.
Saya
mengutip beberapa point hasil penelitian tersebut, yang menyebutkan bahwa;
Menurut hasil penelitian ini, jika dilihat dari sistem pemukiman orang-orang
Togutil Wasilei dapat dibagi atas 3 kelompok, yaitu :
1. Mereka
yang mengembara di hutan-hutan dengan goa-goa dengan rumah-rumah darurat
sebagai tempat bernaung.
2. Mereka
yang berpindah-pindah dalam lokasi tertentu dengan sistem perumahan yang sudah
teratur (di Toboino dan Tutuling).
3. Mereka
yang menetap pada suatu lokasi dengan pola pemukiman yang telah teratur (di Paraino).
Penelitian
ini dilakukan terhadap kelompok kedua dan ketiga. Kelompok pertama adalah
pengembara yang dinamai oleh kelompok kedua dan ketiga serta penduduk kecamatan
Wasilei sebagai “Orang Biri-Biri”. Mereka ini sukar ditemui dan
kecurigaan mereka terhadap orang luar sangat besar.
Orang
Biri-Biri hidup selalu bermusuhan dengan orang-orang Togutil Dodaga (kelompok
kedua dan ketiga). Setiap pertemuan antar kedua golongan ini pasti
diselesaikan dengan perkelahian. Kelompok kedua dan ketiga menganggap masing-masing
seketurunan atau segolongan, sedangkan kedua golongan ini sama sekali tidak
mengakui orang Biri-Biri sebagai orang yang segolongan dengan mereka.
Orang
Togutil Dodaga sebagai salah satu sub-suku Tobelo Dalam, bermukim
pada 3 lokasi yang dipilih oleh mereka sendiri di dekat Dodaga, sekitar 30 km
dari ibukota Kecamatan Wasilei (Lolobata). Sebagian dari mereka
adalah orang suku Togutil yang pernah dimukimkan pada tahun 1971. Ketiga lokasi
tersebut adalah; Paraino, Toboino dan Tutuling seperti yang sebutkan dalam
hasil penelitian di atas. Orang Togutil Dodaga berasal dari dua tempat, yaitu :
1. Daerah
Kao , yakni dari Biang, Gamlaha & Kao
sendiri.
2. Daerah
Tobelo, yakni dari Kupa-kupa, Ufa & Efi-efi.
Dilihat dari
bahasa yang digunakan sesuai hasil penelitian, kelihatannya lebih besar
pengaruh bahasa Tobelo Boeng terhadap suku ini. Orang Togutil Dodaga sebagian
besar berasal dari daerah Kao. Mereka hanya menguasai dan mengerti satu bahasa
yaitu bahasa Tobelo walaupun mereka sejak lama bertempat tinggal di lingkungan
yang mayoritas berbahasa Maba.
Orang-orang
Togutil Dodaga telah menutup dirinya untuk berhubungan dengan dunia luar sampai
kira-kira tahun 1961, setelah itu baru terdapat kontak antar mereka dengan
penduduk lain di sekitar Halmahera bagian tengah. Sifat ketertutupan ini dapat
dimengerti karena mereka adalah pelarian.
Perpindahan
nenek moyang suku Togutil Dodaga dari daerah asalnya adalah karena menghindari
kewajiban pembayaran Balahitongi (Pajak) yang dikenakan oleh
Pemerintah Hindia Belanda jaman dahulu kepada nenek moyang mereka. Kapan dan
bagaimana prosesnya berlangsung tidak diketahui secara pasti.
Dalam buku “De
Ternate Archipel” (1929, hal 401-402) secara jelas dikemukakan bahwa;
Pada tahun 1927 untuk pertama kalinya orang-orang Togutil dikenakan Balasting
(pajak) sebesar 1,20 Gulden oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dan sejak tahun
1929 setiap tahun ditambah dengan 0,20 Gulden. Apabila kedua keterangan ini
dibandingkan, maka dapat dikemukakan dua argument, yakni :
1. Apabila
benar bahwa yang melakukan migrasi ke hurtan rimba Dodaga adalah orang-orang
Togutil, maka mereka baru melakukan hal itu sesudah tahun 1927 karena adanya
pungutan Balasting.
2. Tapi
apabila yang melakukan migrasi itu adalah orang-orang Tobelo yang melarikan
diri karena Balasting, maka migrasi itu telah dilakukan jauh sebelum tahun
1927.
Dengan
demikian sulit dibedakan apakah orang Togutil Dodaga adalah orang-orang (TobeloBoeng)
atau orang-orang Togutil asli. Sampai saat ini tidak ada satu keteranganpun
yang memberi petunjuk jelas tentang perbedaan tersebut. Dan rupanya, hingga
saat ini pengertian “Orang Togutil” selama ini telah dipakai
untuk penamaan semua orang pengembara yang hidup di hutan pedalaman pulau
Halmahera di Maluku Utara.
Para peneliti
dari Universitas Patimura yang melakukan penelitian tersebut, menyimpulkan
bahwa adanya penolakan orang-orang Togutil Dodaga untuk menerima anggapan bahwa
mereka termasuk suku bangsa Togutil dan bahklan mereka menunjuk orang lain
(orang Biri-Biri) sebagai orang Togutil, hal ini mungkin sesuai
kenyataan bahwa mereka itu adalah orang-orang Tobelo (Boeng) yang dahulu
melarikan diri ke hutan. Kenyataan ini ditunjang oleh penunjukan tempat asal
mereka yaitu pada Desa-Desa asal Tobelo dan Kao yang bukan tempat kediaman suku
Togutil asli.
Dengan
demikian, maka pasti timbul pertanyaan; Siapa sebenarnya suku Togutil
itu..? Meskipun persoalan ini belum dapat terpecahkan hingga saat ini
orang mengenal Suku Togutil di pedalaman hutan Halmahera ada dua, yaitu;
1) Orang
Togutil Dodaga yang sudah bisa diajak relokasi oleh Pemerintah, dan
2) Orang
Togutil Asli yang masih hidup di hutan pedalaman yang masih menggunakan pola
hidup dan ketergantungan hidup dari pemberian alam (nomaden) dan belum
mengenal sistem bercocok tanam serta kehidupan yang belum tersentuh oleh dunia
luar.
HUTAN SUNGAI & GOA SEBAGAI RUMAH SUKU TOGUTIL
Orang suku
Togutil ada yang bermukim di daerah pantai namun sebagian besar berada di hutan
pedalaman yang ada sungai yang menjadi sumber kehidupan mereka. Mereka tidak
mengenal sistem pemerintahan dan kekuasaan yang mengikat. Mereka juga tidak
mengenal sistem bercocok taman dan pemukiman. Kebanyakan dari mereka mengembara
di hutan-hutan tertentu dengan gua-gua atau rumah darurat sebagai tempat bernaung
yang dianggap dunianya. Mereka hidup bergantung pada alam. Dalam berpakaian,
mereka masih menggunakan “cawat” yang terbuat dari daun dan kulit
kayu, tanpa mengenakan baju.
Orang-orang
suku Togutil asli yang hidup di tengah rimba Halmahera kerap dihujani prasangka;
terbelakang dan membenci orang asing. Mereka menggunakan anjing sebagai
tindakan awal untuk menghalau jika ada orang asing memasuki wilayah mereka.
Karena hutan
adalah rumah bagi orang-orang suku Togutil, maka pohon dianggap sebagai sumber
kelahiran generasi baru. Di samping pelekatan unsur magis tersebut, pohon juga
bisa menjadi simbol kelahiran (reproduksi genetika). Saya mengutip
beberapa catatan pada hasil Lomba YPHL (2008) dengan topik; Pohon Sebagai
Simbol Kelahiran, Mempertimbangkan Pemahaman Lokal tentang Pohon dalam Upaya
Pemulihan Kerusakan Hutan, yang ditulis oleh Anthon Ngarbingan
dalam www.kabarindonesia.com tanggal 31 Oktober 2008, mengemukakan bahwa
ada beberapa kelompok masyarakat seperti suku Togutil di daerah Baborino, Buli,
Halmahera Timur – Provinsi Maluku Utara, yang menggunakan pohon sebagai lambang
kelahiran seorang bayi di tengah-tengah keluarga. Ketika seorang bayi lahir,
maka salah satu anggota keluarga harus menanam satu pohon, yang menyimbolkan
hadirnya generasi baru di tengah-tengah keluarga.
Hal-hal
seperti ini yang menyebabkan orang-orang Togutil bisa bertahan dalam hutan,
dengan tanpa harus merusak hutan. Padahal, pola hidup mereka berpindah-pindah
tempat. Praktek semacam ini juga dilakukan oleh beberapa keluarga yang tinggal
di Tobelo, Halmahera Utara. Mereka sering menanam satu buah pohon sebagai
simbol kehadiran seorang bayi ditengah-tengah keluarga.
Orang-orang
Togutil menganggap bahwa kaitan antara anak yang dilahirkan dengan pohon yang
ditanam adalah kehidupan mereka sebenarnya akan juga seperti pohon itu, dengan
mana akan tumbuh besar dan menghasilkan sesuatu yang bisa berguna bagi semua
orang.
Orang-orang
suku Togutil sampai saat ini belum mengenal sistem bertani, sistem mata
pencaharian mereka adalah mengumpulkan hasil hutan dan berburu dalam jangka
waktu tertentu, kemudian hasil yang didapat dimakan bersama. Selama bahan
makanan masih ada, para anggota keluarga luas tidak melakukan kegiatan mencari
makan. Mereka akan kembali melakukan pengumpulan makanan dan berburu apabila
cadangan makanan hampir habis. Orang suku Togutil biasanya mendapatkan makanan
langsung dari pohonnya, seperti; buah-buahan dan umbi-umbian.
Cara berburu
suku Tugutil adalah berkelompok (semua orang laki-laki dari anggota keluarga
luas) dengan menggunakan anjing. Alat-alat berburu yang digunakan adalah
tombak, parang dan panah disertai tuba (racun). Dalam usaha menagkap
buruan,mereka juga mengenal penggunaan jerat. Orang-orang Togutil mahir membuat
jerat dari seutas rotan dan tanaman muda yang lentur melengkung untuk menjerat.
Jenis binatang yang diburu adalah babi, rusa, ayam hutan, burung, kuskus, ular,
biawak dan kelelawar.
Orang-orang
suku Togutil dalam usaha mengumpulkan makanan, melakukan secara berkelompok,
misalnya meramu Sagu, atau sendiri-sendiri seperti mengumpul
umbi-umbian (Bete, Mangere & Gihuku)
dan buah-buahan. Karena mereka berdiam di dekat aliran sungai, maka menangkap
ikan juga merupakan mata pencaharian pokok. Seruas bambu disulap jadi panci
penanak nasi atau ramuan obat, dan selembar manggar, daun lontar muda dirangkai
jadi takir, cangkir alami. Getah damar dari hibum, kenari raksasa sebesar bola
tenis, empat kali kenari biasa, bagian kulitnya dipenggal, dibakar, nyalanya
seperti lilin penerang malam hari.
Bagi orang-orang
suku Togutil, anjing merupakan harta yang paling tinggi. Seorang Togutil tanpa
anjing akan lumpuh dalam pekerjaan dan tidak bergairah. Hal ini mungkin karena
peranan anjing begitu besar dalam kehidupan seorang Togutil di hutan, baik dalm
berburu maupun mencari nafkah. Kemanapun orang suku Togutil pergi, ia akan
disertai anjingnya. Karena itulah tidak heran bila seekor anjing dapat
menimbulkan permasalahan persengketaan antar perorangan maupun antar kelompok
yang berujung pada perang kecil. Masalah bunuh-membunuh, keretakan hubungan
antar kerabat dan antar kelompok bisa saja dapat timbul akibat seekor anjing.
Informasi
lain tentang suku yang nyaris telanjang (berpakaian cawat) ini amat
beragam. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (LP3ES, 1996) menyebutnya
sebagai “Suku Togutil” yang tinggal di hutan Dodaga dan Tutuling,
Kecamatan Wasile, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Menurut Ensiklopedi ini,
populasi orang Togutil saat itu 600 orang. Sumber lain menyebutnya “Oho
Ngana Manyawa” yang bermakna orang hutan atau orang rimba yang suka
membunuh (menghabisil nyawa) orang asing.
Dalam
tulisan Christantiowati di Majalah Intisari Edisi September
2008, halaman 124-130 menulis bahwa Rachma Tri Widuri dari
Lembaga Pelestarian Burung Indonesia, dan Atiti Katango, jagawana
dari Taman Nasional (TN) Aketajawe, yang mengantar Tim ini ke tepi Sungai
Tayawi, dekat Kampung Kumu, hanya 15 menit bermobil dan Desa Bale, mengemukakan
bahwa warga Desa Bale, Kecamatan Oba, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku
Utara berceritera kepada mereka bahwa orang-orang suku Togutil itu dulu warga
yang "lari pajak" (tak mau bayar pajak), jadi lari atau diusir
Belanda masuk hutan. Mereka bisa ditemui pula di sekitar Desa Tutur, Totodoku,
Oboi, Tatam, Lili, Mabulan, dan Baken. Mereka disebut Tobelo Dalam atau Tobelo
Hutan, untuk membedakan dari Tobaru, Tobelo Kampung atau yang sudah ke kota.
Suku Togutil
yang kita kenal hingga saat ini, suatu saat nanti siapa sangka mungkin hanya
tinggal kenangan. Kini populasi suku ini semakin berkurang. Hal ini bisa saja
karena kondisi kebiasaan hidup mereka yang tidak teratur yang mengakibatkan
jumlah kelahiran tidak sebanding dengan kematian dari anggota suku ini. Hal
lain adalah tabiat mereka yang takut melihat manusia lain dan ini menutup
kesempatan mereka mendapatkan makanan pada musim sulit sehingga pada akhirnya
mempengaruhi perkembangan populasi dan reproduksi genetika mereka. Semoga suku
ini tidak mengikuti jejak Suku Moro di Halmahera utara yang
hilang misterius (gaib) di abad sebelumnya. Semoga saja “National
Geographic Indonesia” berminat melakukan eksplorasi ke tempat ini……!
Satu hal
yang paling berharga yang telah ditunjukkan oleh suku Togutil yang kita anggap
“kurang” beradab ini telah menjadi pelajaran untuk kita semua,
yakni; “Peliharalah alam, lestarikanlah hutan & jangan sekali-kali
merusaknya”. Sekali lagi, mereka membuktikan bahwa kita yang merasa
diri si "beradab" ini yang harus belajar kearifan dan
keramahan dari mereka. Saya yakin anda semua pasti setuju dengan ini…! (@.Busranto
Abdullatif Doa)
( Original post by : @ http://www.busranto.blogspot.com & http://www.ternate.wordpress.com )
===================================================================
Resourches :
===================================================================
Resourches :
1. De
Ternate Archipel” Serie Q, No.43, Ontleedn aan de memorie van
overgave van den toenmaligen Controleur van Tobelo, PJM Baden, van 26 Maret
1929, pag 401-404.
2. Mus
J. Huliselan, Masalah Pemukiman Kembali Suku Bangsa Togutil di
Kecamatan Wasilei Halmahera Tengah Sebuah Laporan Pejajagan, Universitas
Patimura, Ambon, 1980.
3. Majalah
Ilmu-Ilmu Sastra - Indonesian Journal of Cultural Studies, Jilid VIII
No.2, Edisi Nopember 1979, Penerbit Bharatara.
4. Ensiklopedi
Suku Bangsa di Indonesia, (LP3ES, 1996).
5. Diejen-Roemen
J. M. v., Uit het land waar St. Franciscus leefde. Over bewoners van
Tobelo Boeeng. (Togutil, Lino, Biri-biri). Sejarah Masuknya Agama Kristen di
Tobelo-Maluku Utara, 1956. p.13.
6.
_________, Woordenlijst Togutil, 1958, p.11.
7. Martodirdjo
H. S, Orang Togutil di Halmahera Tengah, 1984, p.53.
8.
_________, Organisasi Sosial Orang Togutil di Halmahera Tengah, 1985,
p.35.
9. Anthon
Ngarbingan, Pohon Sebagai Simbol Kelahiran : Mempertimbangkan
Pemahaman Lokal tentang Pohon dalam Upaya Pemulihan Kerusakan Hutan, Lomba
YPHL, 2008.
10. Christantiowati,
Rachma Tri Widuri dan Atiti Katango dari Lembaga
Pelestarian Burung Indonesia, Togutil – Tobelo, Dalam tulisan : Hutan &
Sungai Rumah Kami, Majalah Intisari Edisi September 2008, halaman 124-130.
11. John
Sharpe & Andrew A. Snelling, Evangelization of the
Togutil, March 1994,
12. Djoko
Su'ud Sukahar (Pengamat Budaya), Suku Asing & Terasing,
detikNews, Edisi Kamis, 21 Agustus 2008.
13. David
Purmiasa & Herman Teguh (www.korantempo.com), Suku
Togutil Yang Bersahaja, yang dikutip; www.halmaherautara.com, Edisi 03
Maret 2008.
14. B.
Soelarto, Sekelumit Monografi Daerah Ternate, Depdikbud,
Jakarta.
15.
Disbudpar Kab. Haltim (Gambar Poster).
Sumber:
Dan ini beberapa foto Suku Togutil yang diambil dari
Alhamdulillah selesai, maaf jika fotonya hanya sedikit. Semoga bermanfaat (✿◠‿◠)
0 comment